Kata "media" itu berasal dari bahasa latin yang artinya perantara sebuah pesan dengan penerima pesan. Contoh dari media seperti: Komputer. Komputer dapat dikatakan media pembelajaran jika membawa pesan - pesan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dan apa yang dimaksud dengan "new media". Sebenarnya sulit untuk mendefinisikan new media disebabkan karena sulitnya menjelaskan apa variabel dari “new” itu. Dan juga karena bisa dilihat dari segi waktu, manfaat, produksi, dan distribusinya. Mengatakan new media, bisa berarti berdasarkan "waktu" . Jadi semakin baru, semakin modern, semakin New Media. Lalu bisa juga dilihat dari sisi "manfaat", jadi semakin heboh di kalangan masyarakat, semakin mengubah culture / budaya, makin new media. Banyak yang beranggapan bahwa komputer itu pasti new media, belum tentu komputer adalah new media karena itu membatasi definisi "new media" itu sendiri, karena komputer hanya sebuah mesin, tidak bisa menjadi pengukur media itu adalah new media atau bukan. Bila dilihat dari sisi "produksi", jadi jika diproduksi dengan teknologi terbaru itu menjadi new media. Berarti dengan definisi ini koran cetak juga dapat dibilang sebagai new media, karena koran di produksi dengan komputer dan design dengan software - software modern. Benarkah koran adalah new media ? Sekarang yang terakhir jika dilihat dari sisi "distribusi", jadi bila hasilnya baru (berupa digital misalnya) itu baru new media. Dan jika dilihat dari sisi ini berarti koran cetak termasuk sebagai old media dong. Kalau koran online baru di bilang sebagai new media. Sangat sulit sekali menjelaskan apa itu new media, karena new media itu dapat dilihat dari segi waktu, manfaat, produksi, dan distribusinya. Itulah yang membuat sangat sulit untuk mendefinisikan apa itu new media? Tapi kalau menurut saya New Media adalah media yang dibuat dengan kode digital, yaitu memakai representasi matematis. Contohnya: Dengan menggunakan alogaritma yang tepat, kita dapat dengan otomatis membuang “noise” dari foto, meningkatkan kontras warna, mencari sisi-sisi dari bentuk, atau mengubah proporsi dan ukuran gambar, singkatnya, media menjadi mudah untuk diprogramkan. New Media adalah media yang didalamnya terdiri dari gabungan berbagai elemen. Itu artinya terdapat konvergensi media di dalamnya, dimana beberapa media dijadikan satu, itu baru disebut new media. Contohnya : Seperti QuickTime movies, suara yang dimasukkan secara terpisah dan berjalan selama film berjalan. Karena tiap-tiap elemen memiliki independensi masing-masing, maka masing-masing dapat dimodifikasi / di-edit kapanpun tanpa harus mengubah film itu sendiri. New Media adalah media dapat mengoperasikan sifat otomatis dalam berbagai perangkatnya. Contohnya: Program edit gambar seperti Photoshop dapat dengan otomatis memperbaiki gambar hasil scan, membersihkan gambar dan meningkatkan kontras gambar. Terakhir kesimpulannya: New media adalah media yang “cerdas seperti manusia” karena terus berkembang seturut perkembangan jaman.
JENIS FILM
Film Barat
Tradisi struktur naratif ala Hollywood tampaknya juga telah menjadi menjadi semacam ideologi dominan khususnya dalam konteks perfilman. Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam esai di Kompas yang bereaksi atas tidak terpilihnya film Garin Nugroho Rindu Kami Pada-Mu sebagai nominator FFI 2005 menyatakan bahwa standar yang muncul dalam film berupa cara bertutur klasik Hollywood semakin menjadi konsep yang dianggap sahih sebagai suatu format naratif sehingga memunculkan suatu wacana dominan (Kompas, 17 Desember 2006). Meskipun tema film Hollywood tidak melulu seputar heroisme dan action dapat dikemukakan bahwa wacana yang dominan sebagai format naratif telah diterima sebagai standar bercerita dalam suatu film. Tidak jarang hal ini banyak diamplifikasi oleh para sineas Indonesia ketika mencoba membuat film sesuai wacana dominan tersebut.
Maka terlihat bahwa bentuk konsumsi simbolik tidak saja serta merta mencakup konteks dan tema melainkan juga sistem dan teknik bertutur (narasi). Hal ini semakin menegaskan keahlian para produsen simbolisme Hollywod dalam menyebarkan ideologi komersial dalam bertutur dan bernarasi yang mampu mempengaruhi pergulatan ideologis tidak saja dalam konteks kelompok dominan dan kelompok terbawahkan namun juga pergulatan budaya yang meliputi situasi dan kondisi kehidupan sekarang.
Mencermati fenomena suksesnya film Spider-Man 3 dapat juga berarti mengakui kesuksesan ahli-ahli komodifikasi di negara kapitalis khususnya Amerika Serikat. Kemampuan para produser-produser Hollywood yang merupakan bagian dari korporasi transnasional di industri film juga terlihat ketika simbol-simbol budaya dengan konteks Amerika mulai diterima secara global. Seperti diungkapkan Herbert Schiller (1995) yang dikutip Paulus Mujiran bahwa kapitalisme telah berada di puncak sublimasinya (advance capitalism) dimana modal tidak diterjemahkan dalam dimensi ekonomi, tetapi juga nilai-nilai budaya (cultural capital). Kapitalisme Barat tidak saja menginvestasi modal dan infrasruktur fisik, namun sekaligus memaksakan modal budayanya untuk diterima sebagai salah satu nilai tunggal peradaban manusia mendatang (Kompas, 18 Februari 2006). Kekuatan sihir dunia konsumsi dengan melekatnya konteks pemilik modal pada simbolisme tertentu berujung pada implikasi penetrasi kultural.
Salah satu wacana imperalisme kultural yang dikemukakan Tomlinson dalam kaitannya kritik terhadap kapitalisme global adalah adanya bentuk tekanan kultural yang homogen (homogenizing cultural force). Persepsi yang muncul bahwa dimana pun di dunia akan mulai terlihat dan terasa sama (Tomlinson, 2002: 228). Agen homogenisasi budaya apabila dikaitkan dalam film Hollywood tampak ketika banyak film buatan non Hollywood kemudian mengambil tema dan narasi yang disadari atau tidak merupakan tipikalitas wacana dominan terutama mengadaptasi nilai-nilai masyarakat Amerika. Wacana homogenisasi sebagai bagian imperalisme kultural dikatakan Morley terlihat dari fakta bahwa Hollywood semakin mendominasi pasar di Eropa, Asia, dan Amerika Latin dan tampak mulai signifikan di Afrika. Selain itu Amerika Serikat juga mengontrol 80 persen pasar film di Eropa sementara Eropa hanya mendapatkan 2 persen pasar filmnya di Amerika Serikat (Morley, 2006: 35).
Kecenderungan produk-produk Hollywood sebagai agen homogenisasi global dapat dicermati sebagai bentuk selebrasi, refleksi, dan eksplorasi dari masyarakat Amerika. Studio film Hollywood seperti Columbia, Paramount, Warner Brother, MGM, dan sebagainya melakukan produksinya sebagaian besar di Amerika Serikat dan terfokus pada konten masyarakat Amerika. Kondisi-kondisi ideal, permasalahan, konflik yang muncul menghiasi film tersebut telah lama digambarkan sebagai genre yamgn mencerminkan sejarah Amerika Serikat dan kondisi komunitasnya. Sehingga O’Shaughnessy dan Stadler lalu menggambarkan imperalisme kultural sebagai proses dimana suatu budaya memaksakan kontrol politik dan ekonominya terhadap budaya lain tidak melalui invasi kontrol politis serta kekuatan fisik namun melalui invasi nilai-nilai dan gagasan-gagasan kulturalnya (O’Shaughnessy dan Stadler, 2002: 119). Film sebagai produk industri dan ekonomi dapat menerapkan kontrol kulturalnya terhadap budaya lain melalui beragam cara yang kemudian tanpa disadari diterima sebagai bagian dari jargon budaya konsumsi.
Berbagai bentuk wacana kecurigaan (discourse of suspiction) dalam imperalisme kultural dalam konteks film Hollywood tampaknya perlu disikapi tidak saja dalam konteks yang sedang terjadi, namun juga implikasi pada proyeksi masa depannya. Industri Hollywood yang setiap saat berkembang melibatkan perputaran kapital jutaan dolar tidak diragukan lagi mempengaruhi proyeksi budaya global masa depan. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan mengingat kondisi yang demikian terjadi serentak berskala planet. Dominasi film Hollywood juga dapat muncul ketika terjadi pergeseran kebutuhan dalan menonton film, dari yang hanya bersifat tertier menjadi primer. Konsumsi simbolisme ini dalam wacana imperalisme kultural merupakan kondisi yang mengarahkan pada penjajahan gaya baru. Produk-produk simbolisme film Hollywood yang semakin diterima oleh khalayak penontonnya tentu tidak serta merta diterima secara pasif. Bahkan di beberapa konteks memunculkan perlawanan. Implikasi optimis dari kondisi ini adalah seharusnya melalui produk-produk tersebut mampu menciptakan khalayak yang berkembang secara kritis memaknai nilai-nilai yang ada dalam film. Mungkin salah satu cara menanggulangi kontrol kultural adalah menciptakan khalayak yang cerdas dan kritis sehingga produk-produk film tersebut tidak hanya sebatas dikonsumsi secara simbolik namun dijadikan sebagai wacana pencerahan dan pembelajaran kultural. Sehingga film seperti Spider-Man 3 tidak saja dikenali sebagai produk superhero melainkan sebagai produk mentor kultural yang berguna bagi perkembangan budaya konsumennya.
Judul : Spiderman 3
Sutradara : Sam Raimi
Aktris / Aktor : Tobby Maguire, Kirsten Dunst, James Franco, Toper Grace
Film Indonesia
Merah Putih”, sebuah film yang merupakan awal dari Trilogi Merdeka akan segera dirilis pertengahan bulan Agustus 2009 dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-64. Film ini disutradari oleh Yadi Sugandhi dengan produser Jeremy Steward. Trilogi Merdeka merupakan hasil kerjasama Margate House dan PT Media Desa. Di belakang PT Media Desa adalah pengusaha yang tercatat dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Globe Asia, Hasyim Djojohadikusumo. Hasyim adalah saudara dari Prabowo Subianto, calon wakil presiden dari partai Gerindra yang berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Presiden tahun 2009 yang baru lalu.
Biaya yang dikeluarkan untuk trilogi tersebut cukup fantastis untuk ukuran film Indonesia: 60 milyar rupiah. Jumlah dana tersebut memang sebanding dengan ambisinya untuk mampu menghadirkan film yang tidak kalah kualitasnya dengan film produksi Hollywood. Special effect diserahkan kepada Adam Howard, yang pernah menangani film “Saving Private Ryan”, “Harry Potter: Secret of the Sorcerer’s Stone” dan “Black Hawk Down”. “Saving Private Ryan” dan “Black Hawk Down” adalah film produksi Hollywood yang bergenre sama dengan film “Merah Putih”, yaitu berlatar belakang masa perang. Skenario ditulis oleh Rob Allyin, seorang jurnalis New York Times. Yadi Sugandhi sebelumnya adalah penata gambar untuk salah satu film terpopuler di Indonesia saat ini: “Laskar Pelangi”. Para aktor yang membintangi film ini juga cukup dikenal dalam industri film Indonesia: Lukman Sardi, Doni Alamsyah, Darius Sinathrya, Zumi Zola, T Rifnu Wikana, dan didukung aktris pendatang baru Rahayu Saraswati dan Astri Nurdin.
Bagi yang ingin cari informasi lebih jauh mengenai film tersebut, jangan ragu-ragu, klik saja gambar poster film di tulisan ini. Bagi yang sudah nonton, boleh juga share komentar di blog belajar marketing dan sharing marketing ideas ini.
Ambisi dari pembuatan film ini tidak berhenti di situ, promosi dari film ini direncanakan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia, Australia, Perancis, Inggris, Belanda dan Amerika. Penayangan perdana film tersebut akan digelar secara serentak di seluruh jaringan bioskop 21 dan Blitzmegaplex pada 13 Agustus 2009.
Terlepas dari rencana promosi film tersebut ke sejumlah kawasan, bagaimanakah muatan nasionalisme dalam film ini mampu memberi pengaruh dalam pemasarannya di dalam negeri? Terus terang saya agak kesulitan mencari kajian atau hasil penelitian untuk belajar marketing khususnya mengenai pengaruh muatan nasionalisme dalam pemasaran suatu produk. Padahal sejauh yang saya ketahui, cara ini sudah banyak digunakan oleh para pemasar. Beberapa contoh yang masih segar dalam ingatan kita antara lain pemasaran Maspion dan Pertamina,.
Dalam sebuah penelitian pengaruh nasionalisme dalam pemasaran brand China di pasar dalam negerinya, nasionalisme merupakan positive force. Tetapi pengaruhnya dalam brand biasanya adalah dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pengaruhnya tetap akan ditentukan oleh customer experience dalam interaksi dengan produk atau brand tersebut. Penelitian tersebut dilakukan oleh Ogilvy & Mather, sebuah perusahaan internasional yang bergerak di di bidang advertising, marketing dan public relation, yang bermarkas besar di New York, Amerika Serikat.
Untuk marketing ideas dalam film “Merah Putih”, nasionalisme bisa juga menjadi positive force dalam pemasarannya di dalam negeri. Momen yang dipilih pun sangat relevan, yaitu dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-64. Saat ini masyarakat Indonesia juga sedang diusik rasa nasionalismenya dengan beberapa kejadian, antara lain insiden bom bunuh diri di hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott, Mega Kuningan, 17 Juli 2009, insiden masuknya kapal-kapal Malaysia ke blok Ambalat, dan pengakuan sepihak dari Malaysia terhadap beberapa seni budaya tradisi rakyat Indonesia (Batik, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, dan lain-lain). Saat ini gerakan Indonesia Unite! juga sedang mendapat perhatian masyarakat.
Bagaimana customer experience yang akan mendukung pemasarannya dalam jangka panjang, mengingat film ini adalah bagian dari sebuah trilogi? Sepintas apresiasi penonton film di Indonesia terhadap produksi film dalam negeri tampak meningkat. Proporsi film Indonesia dalam beberapa jaringan bioskop tampak terus meningkat. Apalagi penggarapan film ini yang didukung beberapa ahli yang terlibat dalam beberapa film box office produksi Hollywood diharapkan akan meningkatkan kualitas dari customer experience.
Indonesia memang mempunyai catatan sejarah yang panjang dalam heroisme para pahlawan pejuang kemerdekaan. Makanya saya sedikit heran mengapa film Indonesia masih sedikit yang terinspirasi karya-karya pahlawan tersebut. Saya membayangkan film epik kolosal berjudul “Diponegoro”, “Sudirman”, “Gadjah Mada”, “Puputan Margarana”, “Hasanudin” dan sebagainya yang tidak kalah dengan film epik kolosal lain seperti “Patriot”, “The Alamo”, “Saving Private Ryan” atau “The Last Samurai”. Saya juga bermimpi bagaimana tema ini menjadi salah satu ciri khas film Indonesia, dan kemudian menjadi pesaing film India dengan ciri khas goyangan tari India-nya. Hingga suatu saat salah satu film epik kolosal Indonesia tersebut mengikuti “Slumdog Millionaire” meraih Oscar atau memenangi Festival Film Cannes. Who knows….
Judul : Merah Putih
Sutradara : Yadi Sugandi
Aktris / Aktor : Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinathrya, Rahayu Saraswati, Rudy Wowor, dan Teuku Rifnu Wikana
Referensi : http://no21reason.blogspot.com/2010/09/apa-itu-new-media.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar